Umar bin Khattab
Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul
Uzza atau lebih dikenal dengan Umar
bin Khattab (581 -
November 644) (bahasa Arab:عمر
ابن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad S.A.W. yang juga
adalah khalifah kedua
Islam (634-644). Umar juga merupakan
satu di antara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang
diberi petunjuk (Khulafaur Rasyidin). Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku
Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu.
Ayahnya bernama Khattab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah
binti Hasyim, dari marga Bani Makhzum.[2] Umar memiliki julukan yang diberikan
oleh Nabi Muhammad S.A.W. yaitu Al-Faruk yang berarti orang yang bisa
memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.
Keluarga Umar tergolong dalam keluarga
kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan
sesuatu yang langka. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia
menjadi juara gulat di Mekkah.
Sebelum memeluk Islam, Umar adalah orang yang sangat disegani dan
dihormati oleh penduduk Mekkah, sebagaimana tradisi yang dijalankan oleh kaum jahiliyah Mekkah
saat itu, Umar juga mengubur putrinya hidup-hidup sebagai bagian dari
pelaksanaan adat Mekkah yang
masih barbar. Setelah memeluk Islam di bawah Nabi Muhammad S.A.W., Umar dikabarkan menyesali perbuatannya
dan menyadari kebodohannya saat itu sebagaimana diriwayatkan dalam satu hadits "Aku
menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir
janggutku".
Umar juga dikenal sebagai seorang
peminum berat, beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam (Jahiliyyah), Umar suka meminum anggur.
Setelah menjadi seorang Muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan
larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.
Memeluk Islam
Ketika Nabi Muhammad
S.A.W. menyebarkan
Islam secara terbuka di Mekkah, Umar bereaksi sangat antipati terhadapnya,
beberapa catatan mengatakan bahwa kaum Muslim saat
itu mengakui bahwa Umar adalah lawan yang paling mereka perhitungkan, hal ini
dikarenakan Umar yang memang sudah mempunyai reputasi yang sangat baik sebagai
ahli strategi perang dan seorang prajurit yang sangat tangguh pada setiap
peperangan yang ia lalui. Umar juga dicatat sebagai orang yang paling banyak
dan paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Nabi Muhammad
S.A.W.
Pada puncak kebenciannya terhadap ajaran Nabi Muhammad
S.A.W., Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Nabi Muhammad S.A.W., namun saat
dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Nabi Muhammad
S.A.W. bernama Nu'aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa
saudara perempuan Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad S.A.W. yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, Umar
terkejut dan pulang ke rumahnya dengan dengan maksud untuk menghukum adiknya,
diriwayatkan bahwa Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur'an surat Thoha ayat 1-8, ia semakin marah
akan hal tersebut dan memukul saudarinya. Ketika melihat saudarinya berdarah
oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat
ia lihat, diriwayatkan Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut,
beberapa waktu setelah kejadian itu Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja
hal yang selama ini selalu membelanyani membuat hampir seisi Mekkah terkejut
karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam
menyiksa para pengikut Nabi Muhammad S.A.W. kemudian memeluk ajaran yang sangat
dibencinya tersebut, akibatnya Umar dikucilkan dari pergaulan Mekkah dan ia
menjadi kurang atau tidak dihormati lagi oleh para petinggi Quraisy yang selama
ini diketahui selalu membelanya.
Menjadi
khalifah
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam
tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian
Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa
kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari
kekaisaran Romawi (Byzantium).
Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah
ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar
yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran
Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan
mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian
selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas
pasukan Persia dalam jumlah
yang lebih besar pada pertempuran
Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada
pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad
bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil
membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama
terhadap Yerusalem, pasukan Islam
akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota
oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy
Sepulchre). Umar memilih untuk salat ditempat lain agar tidak membahayakan
gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia salat.
Umar melakukan banyak reformasi secara
administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun
sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan
diselenggarakannya sensus di
seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas
dan merenovasi Masjidil
Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai
proses kodifikasi hukum Islam.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang
sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di
zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun
ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam
hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Kisah
Umar Bin Khattab dan Seorang
Yahudi Tua
Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan
tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu
ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.
Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang
gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu
menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali
lipat dari harga pasaran.
“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!”
ancam sang gubernur.
Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya
untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat
apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan
kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
Orang Yahudi itu pun pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khatab. Sesampainya di Madinah ia bingung di manakah letak Istana Sang Khalifah.
“Dimanakah istana raja negeri ini?” tanya seorang Yahudi itu pada seorang lelaki.
“Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid, dekat batang kurma itu,” jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi itu terbayang keindahan istana Khalifah. Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan kerajaannya pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang rindang tempat berteduh Khalifah.
Namun, lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang ada dalam benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya. Sebab di tempat yang ditunjuk oleh lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma tetapi cuma satu batang. Di bawah pohon kurma, tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah kusam. Lelaki berjubah kusam itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin juga sedang berdzikir. Yahudi itu tidak punya pilihan selain mendekati lelaki yang bersender di bawah batang kurma, “Maaf, saya ingin bertemu dengan Umar bin Khatab,” tanyanya.
Lelaki yang ditanya bangkit, “Akulah Umar bin Khatab.”
Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar Sang Khalifah, pemimpin negeri ini,” katanya menegaskan.
“Ya, akulah Khalifah pemimpin negeri ini,” kata Umar bin Khatab tak kalah tegas.
Mulut Yahudi itu terkunci, takjub bukan kepalang. Jelas semua itu jauh dari bayangannya. Jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba wah. Itu baru kelas rahib, tentu akan lebih jauh lagi kalau dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak hidup dengan istana serba gemerlap.
Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, ada seorang pemimpin yang kaumnya tengah berjaya, tempat istirahatnya cuma dengan menggelar selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.
“Di manakah istana tuan?” tanya Si Yahudi di antara rasa penasarannya.
Khalifah Umar bin Khatab menuding, “Kalau yang kau maksud kediamanku maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga dari yang terakhir.”
“Itu? Bangunan yang kecil dan kusam?”
“Ya! Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada di dalam hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah.”
Yahudi itu terdiam mendengar ucapan Umar bin Khatab.
“Siapa anda dan ada perlu apa mencari saya?” tanya Umar bin Khatab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang Khalifah yang tinggi besar dan penuh wibawa, Yahudi itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan Khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang Yahudi itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” Yahudi itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.
“Berikan tulang ini pada Gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khatab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.
“Pulanglah, lakukan apa yang kukatakan.” Ucap Sang Khalifah.
Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan Khalifah dan Gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si Yahudi.
Sekembalinya ke Mesir si Yahudi pergi menemui Gubernur Amr bin Ash dengan membawa tulang dari Khalifah Umar bin Khatab. Yahudi itu semakin tidak mengerti dengan tingkah laku Gubernur Amr bin Ash setelah menerima sepotong tulang yang dibawanya. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan kesungguhan perintah Gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.
“Tunggu!” teriak Si Yahudi.
“Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Ucap Si Yahudi dengan wajah teramat sangat kebingungan.
Amr bin Ash memegang pundak Si Yahudi, “Tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela Si Yahudi.
“Karena berisi perintah Khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.” Kata Gubernur Amr bin Ash.
“Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk jika tidak berlaku adil. Sedangkah huruf alif yang digoreskan di atas tulang itu artinya berlaku adil dan luruslah kamu pada siapapun, atau aku yang akan meluruskanmu dengan pedangku!” jelas Sang Gubernur.
“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan
tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si
kakek itu dengan mata berkaca-kaca
Wafatnya
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak yang
fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan
ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar.
Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara
adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23
H/644 M. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
Semasa Umar masih hidup Umar meninggalkan
wasiat yaitu:
1. Bila engkau menemukan cela
pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu
lebih banyak darinya.
2. Bila engkau hendak memusuhi
seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih
berbahaya terhadapmu selain perut.
3. Bila engkau hendak memuji
seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam
memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah.
4. Jika engkau ingin
meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau
meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
5. Bila engkau bersiap-siap
untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap
untuk mati, engkau akan menderita, rugi ,dan penuh penyesalan.
6. Bila engkau ingin menuntut
sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali
dengan mencarinya.
REFERENSI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar